Oleh: Rendy Winata, S.H.
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi
Pendahuluan
Dalam era di mana konflik sumber daya dan bencana ekologis kian mengancam tatanan sosial-ekonomi, penegakan hukum lingkungan bukanlah sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi bagi stabilitas nasional. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DItjen GAKKUM LHK) telah berinovasi selama satu dekade untuk menjaga kelestarian alam, tantangan sumber daya dan koordinasi antar lembaga masih menghambat efektivitas penegakan hukum lingkungan.
Di sepanjang tahun 2024, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen GAKKUM LHK) mencatat 187 berkas perkara pidana yang telah lengkap P 21, 48 kasus perdata, serta menerapkan 370 sanksi administratif dan menangani 880 pengaduan masyarakat. Upaya penegakan hukum juga diperkuat lewat 190 operasi pengamanan, termasuk 41 operasi tumbuhan dan satwa liar (TSL), 109 operasi perambahan hutan, dan 40 operasi pembalakan liar serta pembentukan 704 Polisi Kehutanan (PolHut) dan 102 Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC). Hal tersebut membuktikan keseriusan upaya menegakkan aturan di lapangan. Operasi lapangan intensif, meliputi perlindungan satwa, pengamanan kawasan hutan, dan pembalakan liar yang menunjukkan dimensi nyata penegakan hukum lingkungan di seluruh Indonesia.
Pada 30 Agustus 2024, Menteri LHK mengundangkan Permen LHK No. 10/Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup. Regulasi ini menjamin bahwa aktivis, kelompok masyarakat, akademisi, hingga masyarakat hukum adat tidak dapat dituntut pidana atau digugat perdata atas upaya memperjuangkan lingkungan baik dan sehat, berdasarkan amanat UU No. 32/2009 dan perubahan UU Cipta Kerja.
Dasar hukum Permen ini mengacu pada Pasal 66 UU No. 32/2009 (sebagaimana diubah UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja), Pasal 17 Ayat (3) UUD 1945, serta payung regulasi terkait seperti Perpres No. 92/2020 dan Permen LHK sebelumnya (P.22/MENLHK/SETJEN/SET.1/3/2017; Permen LHK No. 15/2021). Dengan hierarki peraturan menteri di bawah undang undang, Permen 10/2024 mengisi kekosongan aturan anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) di sektor lingkungan.
Mekanisme Perlindungan diatur dalam beberapa pasal kunci:
Pasal 2–3 mendefinisikan siapa yang berhak mendapat perlindungan dan aksi-aksi advokasi minimal yang dilindungi (pelaporan, gugatan perdata, pengajuan hukum).
Pasal 7 mengamanatkan pembentukan “Forum Aparat Penegak Hukum Bersertifikasi Lingkungan Hidup” untuk koordinasi pencegahan tindakan pembalasan (intimidasi, somasi, kriminalisasi), serta prosedur permohonan perlindungan yang diajukan langsung ke Menteri LHK.
Pasal 8–12 mengatur tata kelola pelaporan, penyediaan bantuan hukum, dan kewajiban Kementerian memonitor serta menindaklanjuti setiap indikasi pembalasan.
Meski berpotensi menjadi instrumen anti SLAPP pertama di Indonesia, efektivitas Permen 10/2024 menghadapi dua kendala utama, yaitu level peraturan menteri yang lebih rendah sehingga rawan tumpang tindih dengan undang undang sektoral (misalnya UU Minerba atau UU Kehutanan), serta keterbatasan sosialisasi dan pemahaman aparat di daerah tentang prosedur dan batasan perlindungan.
Sejumlah kalangan menyambut Permen ini sebagai “angin segar” bagi aktivis dan whistleblower lingkungan. Hal ini sebagai langkah awal membendung kriminalisasi pejuang lingkungan, sementara siaran pers KLHK menekankan jaminan “anti repressi” bagi pelapor dan korban pencemaran. Namun hingga kini, lembaga survei independen dan LSM lingkungan terus mendorong penerbitan Peraturan Pemerintah untuk mengangkat ketentuan anti SLAPP ke level hukum yang lebih tinggi, serta memperkuat sanksi bagi pihak yang melakukan pembalasan.
Keberhasilan regulasi ini sangat bergantung pada keseriusan penegakan di lapangan, optimalisasi forum koordinasi, dan edukasi menyeluruh kepada aparat penegak hukum, pemda, serta masyarakat sipil. Tanpa langkah nyata tersebut, perlindungan aktivis hanya akan menjadi wacana di atas kertas.
Pasal 36 PP No. 13/2022 memandatkan integrasi seluruh data penegakan hukum LHK (pidana, perdata, administratif) ke dalam satu sistem informasi terpadu paling lambat enam bulan setelah PP diundangkan, sebagai fondasi transparansi dan respons cepat terhadap pelanggaran. Untuk mempercepat dan mengefektifkan penegakan, KLHK telah meluncurkan Amdalnet—sistem informasi dokumen AMDAL berbasis WebGIS—pada 2 Februari 2022. Amdalnet memungkinkan pelacakan real time dokumen lingkungan, percepatan penilaian, dan keterbukaan informasi publik, sehingga proses persetujuan maupun pengawasan menjadi lebih akuntabel.
Dalam Rapat Teknis One Spatial Planning Policy (15 Jan 2025) menegaskan percepatan implementasi One Map Policy (Perpres 23/2021) dan Satu Data Indonesia, sehingga peta tata ruang, izin lingkungan, dan data penegakan hukum tersaji terintegrasi antarkementerian. Ke depan perlu dibentuk Gugus Tugas Bersama seperti KLHK, ATR/BPN, Bappenas, Polri, Kejaksaan, dan KPK dengan membuat SK Bersama untuk mengatur mekanisme pertukaran data, analisis benturan kepentingan, dan prioritas penindakan.
Dengan menerapkan langkah strategis di atas, penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat menjadi pilar kokoh bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan ekologi nasional.







