Ingar Bingar Isu Penundaan Pemilu 2024 dan Sistem Proporsional Tertutup

Oleh : Arpandi, S.Pdi.

Salah satu wujud dari demokrasi adalah dilaksanakannya sebuah pemilihan umum atau pemilu. Dengan pemilu, demokrasi dianggap sistem yang menjamin kebebasan warga negara terwujud melalui pemungutan suara sebagai bentuk partisipasi publik secara luas. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat.

Di Indonesia, Pemilu terdiri dari pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilihan eksekutif untuk memilih kepala daerah (pilkada) seperti Bupati, Walikota, Gubernur. Mengikuti pelaksanaan otonomi daerah, Indonesia juga telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak tahun 2005. Pada Pasal 18 UUD 1945, Ayat (4) sebagai dasar hukum yang mendasari Pemilihan Kepala Daerah Langsung, menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.

Dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun, Indonesia akan kembali merayakan sebuah pesta yang dinanti-nanti oleh semua masyarakat. Masyarakat tentunya berharap waktu diputar dengan cepat agar bisa segera melaksanakan hajatan lima tahun sekali tersebut. Genderang persiapan jelang pemilu 24 sudah mulai digaungkan. Para peserta khususnya calon-calon pemimpin mulai memperkenalkan dirinya, penyelenggara mulai perlahan menyiapkan segala hal, partai politik mulai merekrut bakal calon wakil-wakil rakyat di parlemen.

Akan tetapi, beberapa waktu sebelum tulisan ini dimuat, masyarakat kembali dihebohkan dengan ingar bingar isu penundaan pesta demokrasi yang sudah dinanti-nanti tersebut. Selain itu, ancaman lainnya kembali muncul, pemilu 2024 yang kemungkinan bakal memakai sistem proporsional tertutup.

Penundaan pemilu 2024

Dikutip CNN Indonesia (4/3/2023), publik dibuat gaduh dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait penundaan pemilu 2024.

Padahal Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas yang dirilis Selasa (15/3/2022), menunjukkan sebanyak 62,3 % setuju pemilu tetap digelar 14 Februari 2024, 25, 1 % tidak mempermasalahkan pemilu ditunda atau tidak, 10,3 % setuju pemilu ditunda 2-3 tahun lagi, dan 2,3 % tidak tahu.

Perihal tersebut menuai polemik seandainya penundaan pemilu memang benar-benar terjadi. Menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa efek jika pemilu benar-benar ditunda.

Pertama, akan terjadi kemandekan dalam proses pembangunan daerah. Sebab, akan banyak posisi kepala daerah yang digantikan oleh pejabat sementara dalam kurun waktu yang panjang. Dilansir Kompas.com (4/1/2022) sejak tahun 2022, ada 101 jabatan kepala daerah yang kosong dan di isi oleh pejabat sementara. Diketahui Karena sifat sementaranya, seorang Pejabat Sementara tidak dapat melaksanakan semua portofolio yang diberikan pada jabatannya itu. Penunjukan hanya dilakukan demi kelancaran kegiatan administrasi sehari- hari. Tentunya hal tersebut akan menghambat pembangunan daerah jika sewaktu-waktu membutuhkan sebuah kebijakan baru yang diperlukan untuk membangun daerah. Otoritas dari penjabat kepala daerah tersebut tak sebesar pejabat sementara. Terdapat batasan-batasan, pejabat sementara tidak memiliki kewenangan untuk dapat mengubah kebijakan yang lama.

Kedua, munculnya kegalauan politik. Sebab, jika benar-benar ditunda, apakah ada kepastian berapa lama dan apakah ada jaminan setelah ditunda akan benar-benar dilaksanakan, atau malah kembali ditunda apabila terjadi kondisi yang tidak memungkinkan. Hal tersebut tentu memperburuk kualitas demokrasi. Masyarakat tentunya berharap melalui pemilu adalah satu-satunya jalan untuk melahirkan pembuat kebijakan baru yang diharapkan dapat mewujudkan keingininan rakyat banyak.

Ketiga, menurunnya semangat berdemokrasi, akan terjadi demotivasi baik itu penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat. Penyelenggara pemilu tentunya akan menjadi bimbang dalam menyusun dan mempersiapkan segala rangkaian jadwal dan tahapan pemilu karena ketidakpastian terkait pemilu 2024. Peserta pemilu juga akan dibingungkan, sama seperti penyelenggara, sebab semua tergantung pada penyelenggara. Begitu juga masyarakat, akan muncul rasa ketidakpercayaan pada pemerintah sehingga muncul ketidakpedulian terhadap pemilu.

Kembalinya sistem proporsional tertutup

Evaluasi penyelenggaraan pemilu pada periode sebelumnyapenulis anggap menjadi alasan secara umum perihal ingar-bingar kembalinya sistem proporsional tertutup pada pemilu 2024 sebagaimana dilansir metrotvnews.com (9/3/2023).

Diketahui, Pemilu sebelum tahun 2004 menjadi awal-awal penggunaan sistem proporsional tertutup. Tahun 2004 dapat disebut sebagai awal mula perubahan sistem pemilihan legislatif (pileg) di Indonesia, dari sistem proposional tertutup (close-list PR) ke sistem proposional terbuka (open-list PR).

Lantas, apa yang dimaksud dengan kedua sistem pemilu ini?, secara sederhana sistem proporsional tertutup dapat dipahami sebagai sistem pemilihan umum yang hanya memungkinkan masyarakat memilih partai politiknya saja, bukan calon wakil rakyat secara langsung. Saat pemilu dengan sistem ini, pemilih hanya mencoblos tanda gambar atau lambang partai dalam surat suara karena tidak tersedia daftar kandidat wakil rakyat di surat suara.

Kemudian, sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu secara terbuka dimana pemilik hak suara tak lagi hanya bisa mencoblos logo parpol, tapi juga berhak menentukan langsung calon wakil rakyat yang mereka sukai. Nomor urut caleg yang sebelumnya menjadi penentu di sistem proporsional tertutup tak lagi berlaku. Partai politik dalam hal ini tidak dapat lagi mendistribusikan suara yang diperoleh secara proporsional sesuai nomor urut calon wakil rakyat, melainkan sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh perorangan calon wakil rakyat.

Lalu apa yang membuat kembalinya sistem ini menjadi heboh?, Diterapkannya sistem proporsional tertutup ditengah proses persiapan yang sudah mulai berjalan dinilai merugikan rakyat karena berpotensi merampas hak konstitusi rakyat.

Masyarakat tidak dapat lagi memilih secara langsung orang yang akan mewakilinya di parlemen. Bak istilah membeli kucing dalam karung, karena siapapun yang akan duduk di parlemen nantinya berdasarkan no urut sesuai dengan keputusan internal partai politik. selain itu, pemilihan yang dianggap tidak terlegitimasi karena tidak melalui suara terbanyak berdasarkan caleg yang dipilih oleh masyarakat, tentunya ini dapat semakin menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu. Di ranah partai politik, nantinya akan terjadi transaksi politik uang di internal partai untuk mendapatkan bagian atau jatah no urut.

Dari sisi lain, sistem proporsional tertutup ini juga memiliki kelebihan karena kesempatan terbuka untuk caleg perempuan yang selama ini selalu sulit untuk menang karena partai tentu akan memenuhi kuota perempuan dari partainya. Kemudian, peluang kader murni partai terpilih juga besar sehingga berdampak jangka panjang pada proses kaderisasi. Yang paling penting adalah meminimalisir terjadinya politik uang di tengah masyarakat.

Terakhir, penulis berharap pihak-pihak yang berwenang dalam membuat keputusan terkait pelaksanaan pemilu 2024 dapat segera menyelesaikan ingar-bingar penundaan pemilu dan sistem pemilu.

LEAVE A REPLY